Selasa, 25 November 2008

Kapankah Sastra Menjadi Panglima?


Balai Bahasa Yogyakarta sedang ramai sewaktu Jalur Pitu (JP) datang. Di sebuah ruangan terlihat beberapa pelajar SMU dan mahasiswi cukup antusias mengikuti pembicaraan tentang bagaimana membuat cerita pendek yang bermutu. Mereka adalah para nominator yang akan diikutkan dalam lomba penulisan cerpen remaja tingkat nasional. Dan di hadapan para remaja itu duduk salah seorang pembicara yang segera kami kenali sebagai Herry Mardianto, pendiri sekaligus koordinator Sanggar Sastra Indonesia Yogyakarta. Lelaki kurus kecil itulah yang kami cari. Selesai menjadi pembicara untuk para remaja itu, kami segera menemuinya dan mengutarakan maksud kami: wawancara. Tetapi pria yang ramah dan murah senyum itu berusaha untuk menolak dijadikan tokoh. Saya ini bukan siapa-siapa, katanya rendah hati, mungkin malu-malu. Tetapi perjuangan belum selesai hingga akhirnya JP berhasil melakukan wawancara dan bertukar pikiran.
Herry Mardianto adalah sarjana sastra Indonesia lulusan Fakultas Sastra UGM, bekerja sebagai staf peneliti Balai Bahasa Yogyakarta. Sejak duduk di bangku SD sudah gemar membaca sajak atau deklamasi, meskipun kegiatan berteriak-teriak membaca puisi saat itu dianggap kegiatan “orang gila”. Kesenangannya tersebut barangkali ada kaitannya dengan darah seni ibunya yang senang menyanyi keroncong. Ketika kuliah di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya)UGM, pria kelahiran Magelang itu pun mulai “belajar” menulis puisi, mendirikan kelompok musik Watoni (waton muni) dengan tugas pokoknya: membuat syair lagu.
Selain aktif menulis, lelaki yang juga menjadi dosen tamu Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma ini sangat menaruh perhatian pada kegiatan sastra remaja, memberi pendampingan bagi pelajar SMU yang ingin mendalami seni (meliputi drama/teater, pembacaan puisi dan cerpen, serta penulisan puisi dan cerpen). Pendampingannya terhadap para remaja tersebut diwadahi dalam Bengkel Sastra dan Sanggar Sastra Indonesia Yogyakarta. Berikut petikan wawancara dengannya:
Bisa dijelaskan tentang Bengkel Sastra dan Sanggar Sastra Indonesia Yogyakarta yang selama ini Anda kelola?
Bengkel Sastra adalah program tahunan Balai Bahasa Yogyakarta untuk pelajar-pelajar SMU. Jadi setiap tahun, kami mencari pelajar SMU yang berminat pada kegiatan seni dan sastra untuk mengikuti pelatihan setiap minggu selama enam bulan. Kegiatannya antara lain latihan teater/drama, apresiasi puisi dan cerpen serta penulisan puisi dan cerpen. Tahun kemarin anak-anak yang ikut pelatihan menerbitkan buku kumpulan puisi dan cerpen. Nah, yang menjadi keprihatinan adalah selepasnya anak-anak itu ikut program balai bahasa, mereka tidak lagi punya wadah untuk belajar bersama yang dapat menampung apresiasi mereka, karya mereka, seperti halnya ketika mereka masih ikut latihan di Bengkel Sastra. Karena itulah saya kemudian berinisiatif mendirikan Sanggar Sastra yang dapat menampung mereka. Eman-eman kalau bakat dan keinginan mereka terkubur setelah mendapat pelatihan. Apalagi mereka adalah remaja yang seringkali memerlukan teman untuk belajar bersama, dalam hal ini sastra. Ya sudah, mari belajar bersama saja di Sanggar Sastra.
Apakah yang ikut Sanggar Sastra adalah mereka yang pernah ikut Bengkel Sastra semua?
O tidak... ada juga remaja yang tidak ikut di Bengkel tapi bergabung juga bersama kami di Sanggar. Kami terbuka saja, kok!
Sebenarnya, bagaimana awal ketertarikan anda pada sastra? Termasuk, sastra sendiri memiliki arti atau makna apa bagi anda?
Pada awalnya saya memilih kuliah di Fakultas Sastra karena dendam terhadap guru bahasa Indonesia yang memberi saya nilai kurang memadai. Berangkat dari situ, saya ingin membuktikan bahwa nilai yang diberikan itu salah. Dalam proses selanjutnya saya sampai pada suatu kesadaran bahwa meskipun selalu diremehkan orang, ternyata sastra dapat menjelma menjadi semacam watu wungkal –alat untuk mengasah benda-benda tajam –yang mempertajam mata hati dan nurani. Meskipun demikian, di sisi lain, pesimisme terhadap sastra seringkali muncul sebagai kasak-kusuk di tengah kita: mengapa kita menggeluti sasstra, apa yang dijanjikan sastra bagi masa depan, bukankah sastra tidak lebih dari sekedar hiburan, dan di tengah kultur pembangunan (di) Indonesia yang relatif tidak mengakomodasikan atau kurang menyediakan peluang-peluang bagi terapresiasikannya seni sastra, siapa yang mau dengan sepenuh hati memperjuangkan dunia sastra di tengah suasana hidup yang mendewa-dewakan masalah ekonomi dan politik dengan pengedepanan efisiensi rasio, kekuasaan, ketertiban serta keamanan? Benarkah sastra menjadi barang rongsokan yang patut ditendang-tendang bagai bola? Bagi saya, “kehebatan” sastra terlihat dari sifatnya yang “pasemon”, dapat hadir sebagai wakil dari suara rakyat untuk menggugat penguasa. Gugatan tersebut dapat berkaitan dengan pemapanan kekuasaan negara, hegemoni pembangunan, dsb. Saya sepakat dengan Goenawan Mohamad yang menulis bahwa sastra merupakan pasemon: semacam sindiran yang sangat halus, yang menyarankan “sesuatu yang bukan sebenarnya tetapi mendekati sifat tertentu”. Jadi, dalam pasemon, makna hadir bukan dengan menceritakan sesuatu “sebagaimana adanya”, tetapi dengan menceritakan sesuatu yang lain dari yang sebenarnya hendak dikatakan. Dengan kata lain, sastra dapat dipahami dengan melihat sejauh mana dia mampu merepresentasikan dan atau memisrepresentasikan kenyataan atau ideologi yang dominan.
Mengapa memilih sastra remaja sebagai konsentrasi “pekerjaan anda”?
Di tengah klenger-nya sosialisasi dan pengajaran sastra, beberapa pihak meyakini bahwa masih ada kesempatan untuk membangkitkan dunia sastra. Banyak orang keminter yang hanya bisa berteriak-teriak bahwa dunia sastra kita sudah payah, kita perlu mensosialisasikan sastra, dunia sastra adalah dunia marjinal; tanpa berbuat apapun dan hanya terus berteriak-teriak tak berkesudahan. Saya merasakan bahwa kurangnya minat terhadap sastra karena sejak kecil kita tidak lagi dibiasakan dengan kegiatan mengarang (apalagi menulis kreatif), tidak diberi kesempatan mengapresiasi kareya sastra, tidak mendapat pelajaran bagaimana cara membuat dan membacakan karya sastra. Bolehlah dikatakan bahwa selama kanak-kanak hingga lulus SMU kita hampir tidak memperoleh pengalaman bersastra kerena yang dijejalkan kepada kita hanyalah pengetahuan sastra dan itu pun tak lebih dari hapalan bahwa si anu menghasilkan ini dan termasuk dalam angkatan itu-tuh….. Siswa SMU saya anggap sudah mampu berpikir jauh ke depan dan mampu berimajinasi serta berekspresi dengan kesadaran mereka sendiri. Saya lebih bisa memberi pengertian kepada mereka bahwa sastra itu adalah santapan yang harus selalu dinikmati. Selain itu saya berupaya memberi pengertian kepada mereka bahwa sastra bukan sekedar knowledge seperti yang diajarkan di balik tembok sekolah. Maka saya “hasut” mereka untuk mencintai sasstra dengan cara mereka sendiri. Kita lalu kumpul bicara ngalor-ngidul, berlatih membaca puisi, mengapresiasi dengan cara masing-masing, pentas dramatisasi puisi. Komunitas seperti yang saya bangun hanya membutuhkan dua syarat pokok: enjoy dan memiliki sense of humor; tak ada garis komando.
Idealisme Anda mengenai sastra?
Sastra harus memasyarakat dan dianggap perlu untuk mengasah hati nurani. Sastra harus mampu menjadi mata pisau yang menyadarkan orang bahwa hidup harus berbudaya, mempunyai kemungkinan-kemungkinan yang tak terbatas pada persoalan politik dan ekonomi. Saya mendambakan kapan satra menjadi panglima di negara yang bernama Republik Indonesia ini?
Karya-karya Anda sendiri bagaimana?
Ha…ha…ha… sudah lama saya ingin menulis cerpen tapi tak pernah selesai. Padahal banyek ide cerita yang berseliweran. Beberapa puisi saya tulis untuk antologi yang diterbitkan oleh Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia UGM. Salah satu puisi saya dimuat dalam buku Antologi Penyair Universitas Gadjah Mada yang diterbitkan oleh UGM. Saya baru membuat puisi kalau ada pesanan untuk diterbitkan dalam antologi. Selain itu dulu saya juga mengirimkan puisi ke beberapa radio swasta untuk dibacakan. Di luar itu, saya menulis artikel atau esai sastra untuk beberapa media massa.
Proses kreatif penciptaan puisi Anda?
Bagi saya, menulis puisi itu tidak mudah, tidak sekedar menyusun kata-kata. Harus ada suasana yang “greng”. Saya menulis puisi jika melihat ketidakadilan, kecemasan, rasa frustasi, ingatan kepada maut dan Tuhan. Saya perlu waktu dan suasasna untuk sampai ke dalam momen puitik. Puisi saya tidak sekali jadi, ia pasti mengalami beberapa kali revisi sebelum saya anggap benar-benar jadi.
Bisa kami mendapatkan karya-karya Anda?
Ya, sebagai contoh saya berikan salah dua puisi saya.
(pusi Herry Mardianto bisa dibaca pada kolom puisi)
Baik, terima kasih atas waktunya, Pak. Selamat berkarya!
Ya…. Sama-sama

1 komentar:

Lilis Indrawati mengatakan...

Sastra akan menjadi Panglima jika ada seribu orang seperti Anda....