Senin, 24 November 2008

Direktori Seni Budaya TBY, Umar Kayam dll....


Perhelatan besar dilakukan Taman Budaya Yogyakarta (TBY) dengan menerbitkan buku Direktori Seni Budaya Yogyakarta (DSBY). Gagasan ini berangkat dari hasrat memposisikan TBY sebagai salah satu “oase publik” sekaligus “jendela kebudayaan” (dalam konteks mensosialisasikan semboyan The Window of Yogyakarta) serta menyediakan “peta seni budaya” yang diharapkan dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak.Penerbitan buku direktori seni budaya dengan melibatkan berbagai komunitas seni (sastra) di Yogyakarta bukan merupakan hal baru karena pada tahun 2000 Yayasan Kelola (Surakarta) atas bantuan The Ford Foundation dan arahan Sapardi Djoko Damono menerbitkan buku Direktori Seni dan Budaya Indonesia 2000. Buku ini memuat 3.869 entri organisasi informal, yayasan, lembaga dan instansi pemerintah yang bergerak di bidang seni budaya di 27 propinsi. Dari 3.869 entri, ada 160 entri lebih menampilkan institusi/kelompok seni Yogyakarta. Jumlah ini tak seberapa jika dibandingkan dengan DSBY yang memuat lebih dari 500 entri tokoh seni budaya (rupa, pertunjukkan, sinematografi, sastra, pengamat) dan kelompok/lembaga seni budaya Yogyakarta. Upaya menyiapkan DSBY merupakan pekerjaan “melelahkan” karena buku direktori tersebut diharapkan menjadi petunjuk atau panduan mengenai segala informasi berkenaan dengan tokoh seni budaya dan lembaga pendukung kebudayaan. Hal ini disadari TBY sejak pembuatan konsep penyusunan DSBY yang dirasa memang tidak mudah menghadirkan direktori yang bisa “memuaskan” dan mengakomodasi kebutuhan publik. Meskipun begitu, setidaknya direktori ini diharapkan mampu menggambarkan peta dan menyediakan informasi mengenai agen-agen pendukung seni budaya di Yogyakarta, baik individu atau kelompok yang dimotori pemerintah maupun partikelir dan bahkan swadaya. Pada tataran ini selayaknya TBY tidak perlu mengedepankan persyaratan yang “sukar dinalar” bahwa direktori ini hanya memuat tokoh seni budaya yang masih hidup atau lembaga yang masih ada. Acuan seperti itu merupakan guyonan tidak lucu dan justru akan memunculkan peta buta seni budaya, bukan peta seni budaya yang representatif. Artinya, jika kita ingin melihat perkembangan sastra di Yogyakarta, jelas tidak akan terjawab dengan “baik dan benar” lewat DSBY karena dalam buku tersebut tidak muncul nama Umar Kayam, Kirdjomulyo, Kuntowidjoyo, Linus Suryadi AG, Sri Murtono, Romo Mangunwijaya dan Sumardjono karena mereka ditempatkan dalam sisi ruang gelap entah dimana (dengan alasan sederhana: mereka sudah “mendahului” kita). Padahal nama-nama “besar” tersebut tidak dapat dilepaskan dari “hiruk-pikuk” perkembangan sastra Indonesia di Yogyakarta. Umar Kayam, Linus Suryadi AG, Romo Mangunwijaya tidak dapat dijauhkan dari embrio lahirnya local genius pengedepanan latar lokal Jawa yang mencerminkan terjadinya arus balik kultural dalam karya-karya mereka (Sri Sumarah dan Bawuk, Pengakuan Pariyem, dan trilogi Roro Mendut). Budi Darma melontarkan gagasan bahwa kecenderungan untuk menghayati subkultur etnik seperti yang diperjuangkan Umar Kayam, Romo Mangunwijaya, dan Linus Suryadi merupakan usaha memperkokoh identitas keindonesiaan, keinginan menghayati salah satu tradisi yang telah ikut andil atau berpartisipasi dalam mewujudkan konsep (ke-)budaya(-an) Indonesia. Kelebihan Umar Kayam dapat dicermati lewat tokoh-tokoh cerita yang tidak mengandalkan tokoh-tokoh tradisional, tapi justru menciptakan tokoh-tokoh antihero. Tokoh antihero tersebut berasal dari wong cilik, selaku hero-hero baru di dalam khazanah sastra Indonesia. Bentuk perhatian terhadap Umar Kayam oleh praktisi seni “kelas atas” diperlihatkan dalam acara “Pak Kayam Pamit Pensiun” (16—17 Juni 1997 di Purna Budaya) yang diprakarsai Djokopekik, Widayat, Jadug Ferianto, Butet Kartaredjasa, Sardono W Kusumo, Ong Hari Wahyu, Ben Suharto, dsb.Di sisi lain, Sri Murtono merupakan pendekar teater, dinilai banyak pengamat sastra sebagai godfather teater Indonesia. Dengan teater ia melakukan perlawanan wacana terhadap penjajahan Belanda dan mengobarkan nasionalisme anak bangsa sebagai counter nasionalisme yang ditanamkan Jepang pada republik ini. “Sumpah Gadjah Mada” dan “Genderang Bharatayudha”, dua masterpiece Sri Murtono lahir dari epos Bharatayudha dan legenda patih paling ambisius yang pernah dimiliki Majapahit. Meski ia besar di lingkungan keluarga Jawa yang kental, situasi ini tidak menyempitkan pola pemikiran Sri Murtono pada aktivitas yang terbelenggu oleh pemikiran Jawa an sich.Nama Sumardjono sepatutnya mendapat tempat memadai karena ia adalah orang paling menentukan keberadaan acara sandiwara radio berbahasa daerah (Jawa) di RRI Nusantara II Yogyakarta. Tahun 1943—1948 tergabung dalam grup Sandiwara Fadjar Teroena pimpinan Mardi Soetjipto, tahun 1951—1955 menjadi staf Seksi Drama pada Bagian Kesenian Jawatan Pendidikan dan Kebudayaan. Sejak tahun 1956 membantu siaran “Keluarga Yogya” RRI. Peranan Sumardjono dalam penyelenggaraan sandiwara radio di RRI sangat besar. Dia tidak hanya sebagai pencetus acara tersebut, tetapi sekaligus penulis utama, pemain dan sutradara. Selama 21 tahun penyelenggaraan sandiwara radio (dimulai tahun 1965), Sumardjono menulis sebanyak 780 naskah. Sandiwara yang pernah populer antara tahun l966 sampai akhir dekade 1970-an adalah “Katri”, “Godril”, dan “Perkutut”. “Godril” merupakan karya Sumardjono yang diilhami novel “Anak Perawan di Sarang Penyamun” (karya Sutan Takdir Alisjahbana). Naskah adaptasi Sumardjono dari karya asing antara lain “Raden Mas Basuki” (Idiot karya Dostojevsky), “Pitrah” (The Good Earth karya Pearl S Buck, dan “Moral” (The Women of Rome karya Alberto Moravia). Jika pun nama Maria Kadarsih masuk dalam DSBY, maka prestasi yang disandangnya tidak lepas dari “campur tangan” Sumardjono.Kerumpangan lain dalam babon DSBY ditandai dengan belum munculnya nama-nama praktisi sastra yang masih aktif berkiprah, sebut saja misalnya Landung Simatupang, Sri Harjanto Sahid, Ulfatin Ch, dan Evi Idawati. Kekurangcermatan dalam menentukan pengelompokan masing-masing tokoh dibuktikan dengan masuknya B. Rahmanto (dosen/pengamat sastra) dalam klasifikasi sastra(-wan) serta Suryanto Satroatmodjo (sastrawan Jawa) kedalam kelompok perupa. Di samping itu banyak lembaga "pengayom" seni-budaya belum dicantumkan sebagai entri. Apapun jadinya, DSBY merupakan penyusunan pangkalan data mengenai seni-budaya yang berkembang di Yogyakarta dan mestinya kita terima dengan lapang dada (jika perlu dengan acungan jempol), meskipun di “atas sana” mungkin Umar Kayam, Kirdjomulyo, Kuntowidjoyo, Linus Suryadi AG, Sri Murtono tengah berkumpul dan rerasan: Beginikah cara sebagian masyarakat Indonesia (Jawa) menghargai “pahlawan-pahlawan” sastranya....(?)Atau memang yang namanya direktori itu pasti untuk mereka-mereka yang masih aktif, e, hidup…. (Herry Mardianto)

Tidak ada komentar: